Peristiwa kedua adalah berlangsungnya pertemuan/kongres para arsitek modernis yang lebih dikenal dengan C.I.A.M.(Congres International d’Architecture Moderne) yang melahirkan konsep-konsep perancangan kota  yang menjadi dasar peremajaan, perbaikan, perluasan dan pengembangan kota-kota di seluruh dunia.

Kongres ini sendiri, pertemuan pertamanya diselenggarakan di La Sarraz Switzerland pada tahun 1928. Pada pertemuan pertama ini dihasilkan suatu deklarasi yang dikenal dengan istilah “Deklarasi La Sarraz” yang mengemukakan lima pernyataan penting, yang  antara lain: 
  1. Arsitektur Modern adalah jembatan antara fenomena arsitekturral dan sistem ekonomi makro
  2. Acuan ”efisiensi ekonomi’ berarti kerja seminimal mungkin dalam berproduksi 
  3. Efisiensi ekonomi dihasilkan melalui perbaikan kondisi sistem ekonomi makro 
  4. Metode berproduksi yang paling efisien adalah rasionalisasi dan standarisasi 
  5. Rasionalisasi dan standarisasi dihasilkan melalui penyederhanaan cara kerja di lapangan dan di pabrik, pengurangan tenaga kerja, penyesuaian kebutuhan berdasarkan kondisi kehidupan sosial yang baru.
Seperti halnya peristiwa pertama (pameran Arsitektur Moderen New York), dalam deklarasi inipun tidak secara eksplisit mengindikasikan adanya eksistensi psikologi dalam prinsip-prinsip disainnya. C.I.A.M. II  kemudian diadakan di kota Frankfurt Jerman pada tahun 1929 yang bertema “Die Wohnung fur das exixtenz minimum”, yang kira-kira bermakna bagaimana merancang di atas lahan yang terbatas dengan efisiensi tinggi dan batasan pokok standar hidup yang minimal. Kongres menghasilkan resume sebagai berikut :
  • mengklasifikasi unit bangunan hunian/rumah dalam sebuah blok perumahan bertingkat
  • membuat tipe unit hunian yang diklasifikasikan atas dasar tipe keluarga, yang kemudian diklasifikasikan lagi atas dasar perkiraan umum (keluarga muda, dewasa, dan tua)
  • tipe unit hunian yang terkecil yang mungkin dibuat adalah ‘one room apartement’, berupa sebuah kamar dengan segala fasilitas standarnya.

Selanjutnya  pertemuan C.I.A.M. III   yang diselenggarakan di kota Brussels Belgia di tahun 1930, dengan tema “Ratonelle Bebauungesweisen” atau  “Cara Membangun yang Rasional”. Pokok permasalahan yang dibahas pada pertemuan ini adalah mencari perbandingan yang  ideal antara tinggi bangunan dengan jarak antar bangunan, di atas sebidang tanah yang terbatas luasnya, sedemikian rupa sehingga tiap penghuni dapat mempertahankan eksistensi minimumnya. Agak lain dari biasanya, pertemuan C.I.A.M. IV kemudian diselenggarakan di atas sebuah kapal yang berlayar dari Athena Yunani ke Marseilles Prancis, pada tahun 1933.  

Pembahasan yang dikemukakan di pertemuan ini berkisar tentang usaha memperluas konsep perancangan perumahan yang dihasilkan oleh pertemuan C.I.A.M sebelumnya ke ruang lingkup yang lebih luas lagi yaitu lingkup perkotaan. Pertemuan C.I.A.M. IV  ini menghasilkan sebuah pernyataan yang dikenal dengan istilah “The Athena  Charter” yang merupakan sebuah resume dari seluruh pembicaraan yang dibuat atas dasar  tema: “The Functional City”.  Pernyataan tersebut berisi penilaian atas  kondisi  fasilitas kota - kota di dunia berikut dengan usulan - usulan perbaikannya.  Isinya  sendiri terdiri dari pengkajian lima  fasilitas utama kota yaitu  :  perumahan, fasilitas rekreasi, fasilitas tempat bekerja, fasilitas transportasi,  serta  bangunan bersejarah.  Pembangunan atas lima judul tersebut didasarkan pada konsep kota sebagai wadah dari empat fungsi utama penghuninya (manusia), yaitu sebagai  tempat tinggal, tempat bekerja, transportasi dan berekreasi. Setiap wadah fungsi-fasilitas tersebut merupakan daerah otonom (self sufficient) yang dihubungkan dengan daerah yang mewadahi fungsi fasilitas lainnya oleh sistem jaringan jalan, kenderaan dan jalur hijau.  Pengaruh Le Corbusier sangat besar di sini.

C.I.A.M - V (kelima) di Paris, VI (keenam) di Bridgewater Inggris, VII (ketujuh) di Bergamo Italia dan VIII (kedelapan) di Hoddesdon Inggris, tidak terlalu penting untuk dikemukakan karena hanya merupakan usaha mempopulerkan apa yang telah dirumuskan pada  C.I.A.M - IV (keempat). Di pertemuan C.I.A.M - IX (kesembilan) di Aix-en Provence Prancis, tahun 1953, eksistensi rumusan C.I.A.M - IV mulai dipertanyakan oleh para arsitek angkatan yang lebih muda. Pada pertemuan C.I.A.M IX  ini dibentuk kelompok kecil yang disebut Team 10 (tim sepuluh)  yang diberi tugas sebagai tim pengarah bagi berlangsungnya  C.I.A.M - X (kesepuluh),  yang ternyata adalah merupakan pertemuan  C.I.A.M  terakhir  diselenggarakan.

Hal yang penting bisa ditarik dari rentetan peristiwa-peristiwa di atas adalah bahwa ternyata ada  masa-masa periode tertentu dalam sejarah arsitektur dimana aspek psikologi sama sekali tidak disertakan dan dikesampingkan  oleh  para  arsitek dalam konsep-konsep perancangannya.. Hal  ini  adalah indikasi dari besarnya pengaruh   fungsionalisme   yang melanda dunia.  Selanjutnya,  dalam penulisan dan pemahaman arsitektur, wacana dalam dunia arsitektur bisa dikatakan tidak sehomogen pada era-era sebelumnya.  Para arsitek modernis kemudian sudah tidak dapat lagi dipersatukan dalam sebuah wadah saja, tempat mereka hanya mengemukakan pandangan-pandangannya secara teratur melalui wadah tersebut

Akibat Perang Dunia II, pemicu utama fungsionalisme
Akibat Perang Dunia II, pemicu utama fungsionalisme
Berlangsungnya Perang Dunia II serta terjadinya pertumbuhan ekonomi besar-besaran di Amerika Serikat  beserta sekutunya di Eropa Barat di era tahun 1950-an, kemudian membuat semangat heroik yang menyelimuti arsitek-arsitek modernis di periode tahun 1920-1930-an  menjadi terhambat dan  berantakan. Yang dicari mereka yaitu penafsiran yang lebih seksama atas interaksi antara lingkungan fisik dan kebutuhan sosio psikologis manusia, melebur dalam gerakan modernisasi yang mendunia melalui industrialisasi yang pada dasarnya merupakan rasionalisasi dan standarisasi fungsional. 

Para arsitek yang  berusaha  memasukkan  kembali peran psikologi dalam disain  arsitektur  mereka  sebagaimana  yang di lakukan oleh para arsitek  Post Modern kemudian, ternyata sulit berkembang dan selalu tampil di bawah bayang-bayang arsitek aliran fungsionalis ini. Di negara-negara berkembang, selanjutnya  aliran fungsionalis ini perkembangannya lebih tidak tertahankan.  Kolonialisasi, modal asing dan sistem pendidikan adalah saluran dan penyebab berkembangnya ide / paham ini.

Identikkah Fungsionalisme dengan Arsitektur Moderen ?. Banyak anggapan orang yang menyamakan aliran fungsionalis ini dengan Arsitektur Modern. Hal ini mengakibatkan segala bias yang terjadi dalam perancangan arsitektur, yang tidak mengindahkan aspek psikologi, dianggap merupakan akibat dari Arsitektur Moderen. 

La Ville Radieuse, Le Corbusier, salah satu karya arsitektur fungsionalis
La Ville Radieuse, Le Corbusier, salah satu karya arsitektur fungsionalis
Arsitektur Moderen didukung oleh para arsitek yang bersikap ‘eklektik’ dan berpandangan revolusioner. Sedangkan arsitektur fungsional adalah merupakan salah satu di antara alternatif yang muncul  sepanjang  sejarah  Arsitektur  Moderen. Perbendaharaan Arsitektur Moderen mempunyai sedemikian banyak contoh yang memperlihatkan bagaimana cara praktis memanfaatkan pengetahuan yang berasal dari psikologi.   Beberapa teori yang dikemukakan oleh Kevin Lynch, Christoper Alexander, Bruno Zevi dan beberapa tokoh lainnya  merupakan bagian terpenting dari  teori Arsitektur Moderen, yang tidak secara eksplisit didasarkan oleh ide fungsionalisme. Begitu pun, teori-teori yang dikemukakan mereka ini tidak sampai populer di negara berkembang, termasuk di Indonesia, sehingga perhatian aspek psikologis ini dalam perancangan sering terabaikan. 

Bruno Zevi, dalam bukunya yang berjudul “The Modern Language of Architecture” 9) menyampaikan  pembelaan  atas  nama  Arsitektur Moderen. Dalam buku tersebut,  Bruno Zevi mengatakan bahwa ‘bahasa’ Arsitektur Moderen berasal dari kondisi “zero degree”, yaitu bahwa Arsitektur Moderen mengawali pembentukan dirinya dengan melakukan pengkondisian elemen-elemen tektonis yang telah ada sepanjang sejarah perkembangan arsitektur.  Ada tujuh teknik dasar perancangan 

Arsitektur Moderen yang muncul dari proses pembentukannya :
  1. Interpretasi yang bebas terhadap isi dan fungsi. Teknik ini berkaitan dengan tampak bangunan dimana komponen-komponen arsitektur seperti jendela, pintu, kolom dan lainnya di komposisikan satu dengan yang lainnya atas dasar ‘negation’ terhadap order-klasik  
  2. Perhatian dan empati terhadap perbedaan. teknik, berarti membuat komponen menjadi cenderung asimetris, dengan tujuan menghapus aturan perspektif aksial hasil temuan jaman Renaisance
  3. Pandangan dan visi yang dinamis serta multidimensional. Hal ini berkaitan dengan komposisi massa bangunan yang diatur sedemikian rupa sehingga titik hilang dalam gambar perspektif klasik menjadi tidak terlalu berperan lagi 
  4. Elemen-elemen yang independen, dimana hal ini ditujukan untuk menghindarkan diri dari konsep massa yang masif, seperti yang diwariskan oleh Vitruvius. 
  5. Hubungan dinamis dan organik antara arsitektur dan engineering. Teknik ini berusaha memanfaatkan penemuan-penemuan baru di bidang struktur dan konstruksi untuk menghasilkan bentukan-bentukan baru yang terkadang tidak terbayangkan sebelumnya
  6. Konsep “living space”,  yang ada hubungannya dengan teknik kelima di atas, dimana dengan munculnya penemuan - penemuan baru di bidang keteknikan (engineering), diciptakan dan dihasilkan ruang-ruang yang lebih dinamis sehingga menggugurkan konsep ruang statis yang terbentuk atas dasar
    perspektif  klasik 
  7. Integrasi antar bangunan, yang merupakan penggabungan dari keenam teknik sebelumnya. Teknik ini diterapkan pada perencanaan kota. 
Empat dari ketujuh teknik-teknik dasar perancangan Arsitektur Moderen diatas (item pertama –keempat) memasukkan unsur psikologi dalam perancangan ; dimana unsur  ‘bentuk’  tampil sebagaimana yang dipersepsikan oleh manusia.

Teknik kelima dan keenam, merupakan paham baru Arsitektur Moderen, yaitu bahwa arsitektur adalah suatu gubahan ruang. Hal ini persis seperti konsep ‘volume’ yang diajukan oleh paham ‘International Style’. Bisa  disimpulkan bahwa teknik dasar perancangan Arsitektur Moderen bertumpu pada dua konsep, yaitu konsep ‘bentuk’ dan konsep ‘ruang’. Dalam kaitannya dengan persepsi terhadap ‘bentuk’ ini,  Niels L Prak menuliskannya dalam karya tulisnya yang berjudul : “The Visual Perception of The Built Environment”  dan  Rudolf Arnheim dalam tulisannya dengan judul :  “The Dynamics of architectural  Forms”.  Tanpa membahas isinya, dari kedua judul tulisan  tersebut  dapat  ditarik kesimpulan  bahwa ‘bentuk’ bisa  jadi merupakan hal yang pasti dan tetap, walaupun pada kesan yang ditinggalkannya dalam alam pikiran manusia selalu berkembang dan berubah.

Untuk konsep  ‘ruang’ ada sedikit perbedaan antara Arsitektur Modern dan Psikologi.  Arsitektur Moderen  hanya  mengenal  satu pengertian  tentang arti ruang, yaitu sebagai sesuatu yang sifatnya volumetris, sementara Psikologi mendefinisikannya dalam bentuk wujud yang belum tentu sama.  Konsep ‘ruang’ ini dalam  Psikologi kemudian dirinci lagi menjadi  isu ‘teritorial’, ‘crowding’ dan ‘privacy’ , yang oleh para arsitek dianggap suatu hal yang sama saja.  Bila dalam arsitektur ungkapan ‘teritorial’ hanyalah dimaksudkan sebagai batas wilayah fisik atau administrasi, di psikologi hal ini dimaksudkan sebagai kemampuan diri dalam
mengontrol prilaku di  dalam ruang terhadap subjek lain baik berupa benda, orang lain ataupun kelompok orang, tanpa ada batasan fisik yang dapat dijadikan  sebagai suatu patokan.

Arsitektur mengenal istilah ‘crowding’ sebagai suatu nilai ‘kepadatan’ orang terhadap satuan luasan tertentu.  Dalam psikologi , istilah ‘kepadatan’ sendiri dilihat dari beberapa gejala yaitu: crowding (keramaian), density (kepadatan) dan congestion (kemacetan).  Istilah  ‘crowding’ diartikan sebagai rasio / perbandingan jumlah orang terhadap satuan kenyamanan. Faktor ‘kenyamanan’ sendiri, adalah satuan yang tidak sama untuk setiap pelaku, tiap peristiwa dan lokasi kejadiannya.

Konsep ‘privacy’ dalam arsitektur bisa diartikan sebagai suatu kebutuhan manusia untuk menikmati sebagian dari kehidupan sehari-harinya tanpa ada gangguan baik langsung maupun tidak langsung oleh subjek lain. Hal ini dinyatakan dalam suatu ruang yang tertutup dari jangkauan pandangan maupun fisik dari pihak luar. Jadi jelas ada batasan-batasan fisik untuk mencapainya. Psikologi mengartikan ‘privacy’  sebagai kebebasan pribadi untuk memilih apa yang akan di sampaikan atau dikomunikasikan tentang dirinya sendiri dan kepada siapa akan disampaikan.

Dengan perkataan lain, ‘privacy’ dalam psikologi belum tentu akan tercipta hanya dengan adanya batasan-batasan fisik saja. Psikologipun mengklasifikasikan ‘privacy’ ini menjadi: ‘solitude’ yang berarti kesunyian, ‘intimacy’ atau keintiman, ‘anonymity’ atau tanpa identitas, dan ‘reserve’ yang berarti  kesendirian.

Dari beberapa perbedaan di atas, jelas dibutuhkan kerjasama dalam hal pengertian atas konsep-konsep tersebut, karena ternyata tidak semuanya dan belum tentu ungkapan dan istilah psikologi itu bisa diwujudkan dalam bentuk fisik arsitektur.  Hal ini tidak mudah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Vitruvius tentang defenisi arsitektur yaitu “the art of building” dimana pengertian kata “building” itu sendiri mempunyai dua pengertian yang berlainan dalam  wujud bentuk fisiknya.  Makna pertama  berupa  bentukan fisik tertentu sebagai suatu hasil akhir disain, sementara makna yang lain mengacu kepada suatu “proses” yang tidak akan berhenti sampai kapanpun. Di dalam prakteknya sejauh ini karya arsitektur masih mengacu dan memihak pada makna pertama tadi.

Rasionalisasi dan standarisasi seperti yang dikemukakan dalam pertemuan-pertemuan C.I.A.M., sebenarnya  adalah bentuk upaya  para  arsitek masa itu menciptakan karya arsitektur berdasarkan makna yang kedua tadi (building is a process). Konsep-konsep mereka bertumpu pada suatu anggapan bahwa arsitektur adalah suatu proses penyusunan berbagai bentukan fisik dengan menggunakan omponen-komponen yang standar.

Dalam prakteknya yang terjadi tentu  karya arsitektur dengan variasi-variasi yang terbatas dan bila dilihat dari sisi  ‘proses’ sebagai sesuatu yang tidak pernah berhenti, hal ini bisa dikatakan mandek, sehingga bisa dikatakan belum menghasilkan karya-karya yang benar-benar bisa dianggap sebagai suatu revolusi dalam bidang arsitektur.

0 comments:

Post a Comment

 
Top